Jumat, 25 Desember 2015

Make Your Papa Proud (Final Chapter)

AARRGGHH, I couldn't make it completely finish. Shame on you nan!

But, for you who might be wonder what kind of ending my story would has, here I present to you the last chapter of Make Your Papa Proud. Please enjoyyyyy, please please please.

==================================================================

Cerita ini kuawali dengan suasana hujan dan kuakhiri juga dengan hujan, namun kali ini hanya rintik halus. Aku selalu suka hujan sampai ke komponen-komponen terkecilnya; wangi rumput dan tanah, suara menenangkan, hawa dingin, dan air –yang seakan melebur menjadi satu membilas seluruh rasa sendu. Hai Hujan, bagaimana kau tahu saat ini aku sedang sendu?

Aku berdiri di dekat dua tumpukan tanah berumput rapih dengan Nissan di atasnya. Senduku terbaring bersama dua orang yang kucintai ini. Berapa banyak bunga dan doa yang harus aku tebarkan pada makam ini untuk mengirim pesan bahwa aku rindu? Papa…. Lihat aku sekarang. Aku sudah banyak berkembang, Pa. Aku tidak bertengkar lagi dengan Mama dan Tasya, aku telah bekerja di salah satu perusahaan konsultan ternama seperti yang Papa harapkan, aku mengelola kembali Panti Asuhan Mulia Hati milik Papa yang sempat tergusur, dan aku…. dan aku…. Belum sempat ku selesaikan kalimat dalam pikiranku, tak tahan ku pandangi juga makam di sebelah papa. Dan aku…. akan menikah minggu depan, Pa, Nat.

Ah…. Sial, kenapa menetes lagi, sih? Sudah 5 tahun berlalu dan kau masih saja tak bisa tersenyum bahagia untuk ditunjukkan pada mereka, Zen? Bodoh.

“Zen, pakai paying ini. Kamu nyaris basah semua, nanti kamu sakit,” Mama mengulurkanku sebuah payung hitam. Aku tersenyum padanya dan mengambil payung itu, kemudian tiba-tiba ia memelukku. Hangat. Aku tahu pelukan Mama memang selalu hangat, hanya saja aku terlalu bodoh untuk menghabiskan waktu bertengkar dengannya dulu. Aku tak pernah tahu bahwa selama ini Mama cemburu. Aku tak pernah peka bahwa perhatian Papa memang sangat tercurah padaku. Aku tak pernah sadar bahwa Mama juga berusaha untuk menyayangiku sepenuh hatinya, setulus yang ia mampu, dan ia juga mengintropeksi dirinya sendiri sampai Papa dan aku bisa menyayanginya. Kemudian pelukan Mama mengendur dan ia mulai berjongkok di samping makam Papa untuk berdoa.

Pa, aku menyayangi Mama dan Tasya. Kami tidak akan bertengkar lagi, janji.

Nata…. Hai, apa kabar? Aku membawa calon suamiku ke sini, Nat. Kau sudah kenal dia kan, pastinya? Tunggu, jangan beritahu aku. Aku tahu kamu pasti akan bilang “Selamat berbahagia, Zen. Aku percaya sama dia. Kalau dia bikin kamu nangis, nanti aku hantuin dia, hehe”. Lalu aku pun tersenyum dengan pemikiranku sendiri. Tapi aku hampir yakin akan mendengar suaramu mengucapkan itu. Kamu yakin kamu percaya dia kan, Nata? Karena aku saat ini juga sangat memercayainya. Aku mencintainya, Nat. Aku mencintainya seperti aku mencintaimu dulu.

“Zen, Ma, Tasya akan sampai di bandara sebentar lagi,” kata suara laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit putih pucat tersebut.

“Yuk, kita bersiap-siap jemput dia. Zen, kamu sudah selesai berdoa?”

“Sudah, Ma. Ayo kita ke mobil,” kataku sambil mengusap air mata. Ayolah, aku sedang membawa kabar baik untuk dua lelaki superku, nih. Masa’ kamu segala keluar sih? Bikin mataku bengkak saja. Ups, jadi ingat insiden kacamata hitam dulu, hehe.

“Zen…,” Ditan mengulurkan tangannya, siap menggandengku kapan saja. Dan cukup siap untuk menggandengku ke pelaminan juga. Aku pun tersenyum seraya mengambil tangannya. Seminggu lagi ia akan menjadi suamiku, gila bukan? Ternyata kita memang tidak bisa membaca takdir. Aku bersyukur bertemu denganmu di parkiran motor sekolah saat itu, Ditan. Aku bersyukur bahwa kau adalah sahabat Nata. Aku bersyukur bahwa aku punya andil dalam memperbaiki masa lalumu. Dan aku bersyukur berada di titik ini bersamamu.

“Zen…,”

“Apalagi, bawel?”


“I love you”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar