But, for you who might be wonder what kind of ending my story would has, here I present to you the last chapter of Make Your Papa Proud. Please enjoyyyyy, please please please.
==================================================================
Cerita ini kuawali dengan suasana
hujan dan kuakhiri juga dengan hujan, namun kali ini hanya rintik halus. Aku
selalu suka hujan sampai ke komponen-komponen terkecilnya; wangi rumput dan
tanah, suara menenangkan, hawa dingin, dan air –yang seakan melebur menjadi
satu membilas seluruh rasa sendu. Hai Hujan, bagaimana kau tahu saat ini aku
sedang sendu?
Aku berdiri di dekat dua tumpukan
tanah berumput rapih dengan Nissan di atasnya. Senduku terbaring bersama dua
orang yang kucintai ini. Berapa banyak bunga dan doa yang harus aku tebarkan pada
makam ini untuk mengirim pesan bahwa aku rindu? Papa…. Lihat aku sekarang. Aku
sudah banyak berkembang, Pa. Aku tidak bertengkar lagi dengan Mama dan Tasya,
aku telah bekerja di salah satu perusahaan konsultan ternama seperti yang Papa
harapkan, aku mengelola kembali Panti Asuhan Mulia Hati milik Papa yang sempat
tergusur, dan aku…. dan aku…. Belum sempat ku selesaikan kalimat dalam
pikiranku, tak tahan ku pandangi juga makam di sebelah papa. Dan aku…. akan
menikah minggu depan, Pa, Nat.
Ah…. Sial, kenapa menetes lagi,
sih? Sudah 5 tahun berlalu dan kau masih saja tak bisa tersenyum bahagia untuk
ditunjukkan pada mereka, Zen? Bodoh.
“Zen, pakai paying ini. Kamu nyaris
basah semua, nanti kamu sakit,” Mama mengulurkanku sebuah payung hitam. Aku tersenyum
padanya dan mengambil payung itu, kemudian tiba-tiba ia memelukku. Hangat. Aku
tahu pelukan Mama memang selalu hangat, hanya saja aku terlalu bodoh untuk
menghabiskan waktu bertengkar dengannya dulu. Aku tak pernah tahu bahwa selama
ini Mama cemburu. Aku tak pernah peka bahwa perhatian Papa memang sangat
tercurah padaku. Aku tak pernah sadar bahwa Mama juga berusaha untuk
menyayangiku sepenuh hatinya, setulus yang ia mampu, dan ia juga mengintropeksi
dirinya sendiri sampai Papa dan aku bisa menyayanginya. Kemudian pelukan Mama
mengendur dan ia mulai berjongkok di samping makam Papa untuk berdoa.
Pa, aku menyayangi Mama dan Tasya. Kami
tidak akan bertengkar lagi, janji.
Nata…. Hai, apa kabar? Aku membawa
calon suamiku ke sini, Nat. Kau sudah kenal dia kan, pastinya? Tunggu, jangan
beritahu aku. Aku tahu kamu pasti akan bilang “Selamat berbahagia, Zen. Aku
percaya sama dia. Kalau dia bikin kamu nangis, nanti aku hantuin dia, hehe”. Lalu
aku pun tersenyum dengan pemikiranku sendiri. Tapi aku hampir yakin akan mendengar
suaramu mengucapkan itu. Kamu yakin kamu percaya dia kan, Nata? Karena aku saat
ini juga sangat memercayainya. Aku mencintainya, Nat. Aku mencintainya seperti
aku mencintaimu dulu.
“Zen, Ma, Tasya akan sampai di
bandara sebentar lagi,” kata suara laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit putih
pucat tersebut.
“Yuk, kita bersiap-siap jemput dia.
Zen, kamu sudah selesai berdoa?”
“Sudah, Ma. Ayo kita ke mobil,”
kataku sambil mengusap air mata. Ayolah, aku sedang membawa kabar baik untuk
dua lelaki superku, nih. Masa’ kamu segala keluar sih? Bikin mataku bengkak
saja. Ups, jadi ingat insiden kacamata hitam dulu, hehe.
“Zen…,” Ditan mengulurkan tangannya,
siap menggandengku kapan saja. Dan cukup siap untuk menggandengku ke pelaminan
juga. Aku pun tersenyum seraya mengambil tangannya. Seminggu lagi ia akan
menjadi suamiku, gila bukan? Ternyata kita memang tidak bisa membaca takdir. Aku
bersyukur bertemu denganmu di parkiran motor sekolah saat itu, Ditan. Aku bersyukur
bahwa kau adalah sahabat Nata. Aku bersyukur bahwa aku punya andil dalam
memperbaiki masa lalumu. Dan aku bersyukur berada di titik ini bersamamu.
“Zen…,”
“Apalagi, bawel?”
“I love you”